2/20/2004

Akita Inu, Anjing Para Shogun..

Sejarah Akita sebagai anjing trah bermula kira-kira 300 tahun yang lalu di Jepang. Namanya diambil dari suatu wilayah yang terletak di bagian Utara Pulau Honshu. Pada awalnya, anjing ini digunakan berpasangan jantan-betina dalam lomba perburuan binatang seperti beruang Yezo yang memiliki berat 800 pon, antelope, elk, babi hutan dan rusa. Mereka bertugas untuk melacak, menangkap dan memegang binatang buruan sampai tuannya datang untuk membunuh binatang buruan tersebut. Selain itu, mereka juga digunakan untuk menangkap unggas di perairan karena mereka memiliki mulut yang ‘soft”. Ketika itu, Akita hanya dimiliki oleh para Shogun, para bangsawan yang berkuasa di wilayah-wilayah di Jepang. Memberi anak anjing Akita kepada keluarga yang baru memiliki anak dianggap akan membawa keberuntungan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Akita digunakan pula sebagai anjing penjaga, penggembala dan aduan. Trah ini memiliki kecerdasan dan daya tahan yang tinggi. Ketajaman penciuman, penglihatan dan pendengarannya menjadikan Akita anjing penjaga yang dapat diandalkan.

Dua kemunduran utama berkaitan dengan trah ini terjadi di akhir abad ke 19. Pertama, persilangan antara Akita dengan anjing aduan Jepang, Tosa, berpengaruh pada ukuran dan sifat agresifnya. Kedua, mewabahnya penyakit rabies di Jepang yang menjangkiti lebih dari 3.000 anjing dan berakhir dengan pemusnahan seluruh anjing yang ada, baik yang terjangkit maupun tidak.

Di awal tahun 1900-an, terdapat dua kejadian positif yang mendukung perkembangan Akita. Pertama, adalah cerita tentang Hachi-ko, anjing Akita paling terkenal sepanjang masa. Setiap tahun di stasiun kereta api Shibuya, Tokyo, diadakan upacara khidmat untuk mengenangnya. Ratusan penggemar anjing berkunjung untuk memberikan penghormatan atas kesetiaannya dan pengabdiannya.

Hachi-ko yang lahir pada bulan November 1923 di wilayah Akita, Jepang, adalah anjing piaraan setia Dr. Eisaburo Ueno, seorang professor di Tokyo Imperial University. Seperti sifat dasar anjing Akita lainnya, Hachi-ko segera menyatukan hidupnya dengan si profesor tua. Setiap hari Hachi-ko mengantar tuannya ke stasiun untuk berangkat bekerja. Setiap sore, Hachi-Ko akan kembali ke stasiun untuk menjemput tuannya.

Pada suatu sore di bulan Mei 1925, Professor Ueno tidak kembali. Ia meninggal siang itu di universitas. Hachi-ko, Akita yang setia, menunggunya di stasiun sampai tengah malam. Hari berikutnya, sampai sepuluh tahun berikutnya, Hachi-ko kembali ke stasiun untuk menunggu tuan kesayangannya dan pulang kembali dengan tangan hampa. Tak ada sesuatupun dan seorangpun yang mampu mengurangi semangat dan kewaspadaan Hachi-ko dalam penantiannya setiap malam. Suatu malam, kepala stasiun menyadari kehadiran Hachi-ko, dan iapun mulai memberi makan dan tempat berteduh. Hachi-ko menjadi land-mark. Kebiasaannya diketahui oleh para penumpang dan masarakat se kota. Hal ini terus berlangsung hingga kematiannya di bulan Maret 1935. Berita ini menyebar luas di Jepang. Pemberitaan yang bertubi-tubi di surat kabar membangkitkan usulan untuk membangun sebuah monumen di stasiun. Bantuan dari Amerika dan beberapa negara lainnya berdatangan. Pada tahun 1943, sebuah patung perunggu Hachi-ko dibuat dan diletakkan di stasiun Shibuya, dimana dia selalu menunggu tuannya dengan setia. Namun, pada perang dunia ke-dua, seluruh patung diambil oleh pemerintah untuk digunakan sebagai bahan baku peluru. Setelah perang, tepatnya tahun 1948, jawatan kereta api mendirikan patung Hachi-ko yang lain. Uniknya, putera Tera Ando, pembuat patung pertama, diminta untuk mengawasi pembuatan patung yang ke-dua. Saat ini, patung tersebut tetap berdiri di stasiun Shibuya, perlambang kesetiaan, keyakinan dan kecerdasan anjing Akita.

Kejadian positif ke-dua adalah kehadiran Hellen Keller di Jepang pada tahun 1937. Dia menunjukkan perhatian yang mendalam pada anjing Akita dan membawa dua ekor anjing Akita pertama ke Amerika. Sayangnya, seekor diantaranya mati muda, dan seekor lainnya menemani Hellen Keller hingga kematiannya di tahun 1945.

Perang dunia ke-dua mengakibatkan anjing Akita di ambang kepunahan. Banyak Akita mati karena dibunuh dan dimakan oleh orang-orang yang kelaparan dan kulitnya dijadikan bahan pakaian. Yang lainnya diperintahkan untuk dibunuh guna menghindari penyebaran penyakit. Satu-satunya jalan bagi para pemilik anjing untuk menyelamatkannya adalah dengan membawanya ke daerah-daerah terpencil di gunung-gunung. Disanalah kemampuan berburu dan daya tahan yang dimiliki membantunya bertahan hingga perang berakhir. (Poerwadi Waspodo, 20 Februari 2004)